Wednesday, August 26, 2009

Sepeda Tua Kembali Diminat


Kalau Anda pencinta film Indonesia tempo doeloe, tentu tak lupa dengan Rano Karno, yang sejak kecil sudah membintangi banyak film. Dalam beberapa film yang dibintanginya, Rano Karno kecil sering naik sepeda mungil roda dua bersama kawan-kawannya. Sepeda mungil dengan spesifikasi fork depan dilengkapi springer atau per, sering juga disebut dengan model cangkrang, ditambah lagi setang yang lebih lebar dari ukuran sepeda umumnya, plus jok model pisang yang memanjang ke belakang, dilengkapi dengan sen-deran dari pipa kecil yang menjulang ke atas sebagai tangkringan sang empunya sepeda. Ya, itulah sepeda model “low rider”. Atau kalau susah-susah menyebut low rider, orang “dulu” lantas menyamaratakan dengan menyebutnya sepeda mini atau BMX.


Kini low rider muncul kembali dari gudang tempat peraduannya. Coba saja sekali-kali sobat muda ambil waktu di Minggu pagi jalan-jalan ke seputaran taman kota atau ke Monas – tentunya dengan kon-sekuensi harus rela ke gereja sore hari – sobat muda akan dengan mudah mene-mukan sepeda jenis ini. Bayangkan saja bagaimana asyiknya tatkala Anda melenggang dengan low rider, lantas semua mata memandang ke arah Anda, wow… tentu ada kenikmatan sendiri yang orang belum tentu miliki.


Kini jaman seolah kembali berbalik ke tahun 60 atau 70-an. Tak hanya orang muda saja yang mengendarai low rider, tapi juga tak sedikit orang tua yang menungganginya. Ada beragam alasan, mulai dari sekadar bernostalgia ke masa kecil, sampai dengan benar-benar hobby dengan sepeda antik. Konon sepeda model ini untuk pertama kalinya diperkenalkan pada 1960-an, oleh The “Custom” King George Barris. Sebelum menemu-kan sepeda low rider, aktivitas sehari-hari George King adalah modifikasi mobil bentuk ceper, bertepatan saat itu demam mobil Low Rider sedang mewabah di kalangan anak muda Amerika. Sayangnya, trend itu hanya bisa dinik-mati oleh orang muda dari keluarga kaya saja. Tak heran, karena membuat mobil low rider membutuhkan uang yang tidak sedikit, sementara itu anak yang berasal dari keluarga miskin hanya bisa melihat dari jauh tanpa bisa menikmatinya sama sekali.

Melihat kontras yang ada, lantas George memutar otak mencari solusi. Tak dinyana ide brilian itu pun kemudian menempel ke me-morinya. Ide mencoba memba-ngun sebuah sepeda yang meng-acu pada kesan low rider. Kemudian George mengutak-katik, permak sana-sini sepeda tunggangannya untuk eksperimen pertama kali. Selanjutnya hasil kreasinya itu ia perkenalkan pada banyak anak dari keluarga yang kurang mampu. Tak disangka, banyak anak-anak dari keluarga yang kurang mampu lantas beralih berkreasi membuat sepeda model low rider. Sampai perusa-haan besar seperti SCHWIIN meli-hat peluang ini dan kemudian lantas memroduksinya secara masal.

Itulah low rider, sepeda yang identik dengan orang miskin atau tak berduit di masanya itu, kini telah berevolusi menjadi barang mahal bernilai tinggi yang digemari banyak orang. Di Indonesia sen-diri, ada banyak komunitas pe-nyuka low rider di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Salah satu di antaranya adalah Jakarta Street Lowider (JSL), komunitas penyuka sepeda ceper dari Jakarta yang berdiri sejak 6 Juni 2006.

Jakarta Street Lowrider sendiri merupakan wadah bagi para penggemar sepeda low rider yang sebelumnya “menggelan-dang” tanpa adanya wadah khu-sus yang menaungi. Namun de-mikian, tidak seperti komunitas-komunitas lain yang pada umumnya memiliki peraturan yang rumit, JSL justru tidak mau mengikat anggotanya dengan peraturan ribet. JSL memberi kebebasan pada anggotanya untuk berekspresi dan berkreasi seapik mungkin dengan sepeda low rider tunggangan mereka. Slawi/dbs

No comments:

Post a Comment